Sepanjang Peradaban Manusia secara determinan di dalam hidup ada dua hal yang merupakan sebuah pasangan dan menjadi sebuah pegangan hidup. Di dunia ini siapa saja tidak akan merupakan dua buah hal yakni : “Baik dan Buruk” ada sorga dan neraka ada api ada air, ada kemarau panas, ada hujan, ada bahagia ada kesedihan, ada senang ada susah, ada laki-laki ada perempuan (mas kulin dan feminism). Itulah sisi-sisi kehidupan dan warnanya yang tercipta sesuai dengan Sunna tullah yang berlaku. Manusia sebagai “HOHMO Her meuneteus” (sang pemberi makna dan symbol) tidak bisa malupakan dua hal berpasangan ini baik yang ada di luar dirinya maupun yang berada di dalam dirinya bahwa dalam diri manusia terdapat benih- benih ketaatan dan sebuah kejujuran dalam hidup yang identik dengan licik, dan bertindak sewenang wenang dalam hidup baik kepada dirinya sendiri, kepada sesama dan lingkungan. Sisi baik dalam diri manusia secara tekstual oleh Penulis disini ingin disebut sebagai sebuah “Proaktifitas” dan sisi sisi buruk dalam diri manusia tak lain adalah sebuah “Reaktifitas”.
Dari kedua hal di atas, manusia dari waktu ke waktu banyak belajar dalam hidup. Ignas Kleden pernah mengatakan bahwa filsafat “Belajar Hidup” yang benar adalah belajar berarti praktek. Sebab segala pengetahuan dan wawasan dalam hidup tentang hal-hal yang benar dan baik betapapun hebatnya dan arif nilai nilai itu jika bila tidak pernah dipraktekkan, diamalkan dalam realitas kehidupan yang nyata, maka ia hanya menjadi sebuah “vani tas vanitatum mundi” hanya sebuah kesia-siaan belaka ditengah utopia waktu yang membelenggu. Hanya pengetahuan mengenai hal-hal yang buruk dan jahatlah yang tak perlu kita praktekkan dan secara tegas perlu digarisbawahi dengan tinta merah.
Dalam diri kita ada sisi positif dan negative, sisi positif yang tak lain adalah sebuah proaktifitas hidup yang bermakna : “Sebagai kekuasaan, kebebasan, dan kemampuan untuk memilih respon kita terhadap apa yang terjadi atau menimpa diri kita berdasarkan nilai nilai yang kita anut. Lawan kata Proaktif adalah “Reaktif” yang tak lain adalah sisi negative hidup kita yang identik dan cenderung dengan sebuah ketidakberdayaan, ketidakbebasan serta ketidakmampuan kita memilih respons terhadap apa yang terjadi dengan titik akhir sebuah ketidakjelasan nilai-nilai pegangan hidup yang kita anut dan yakini.
Secara teoriti, mereka yang disebut “Orang Proaktif” memilih proaktifitas yang tinggi dalam mengembangkan karunia-karunia Tuhan yang diberikan secara khusus kepada mereka, yakni : kesadaran diri, hati nurani, kehendak bebas, dan daya imajinasi kreatif dan penuh inovatif. Kesadaran diri merupakan titik awal landasan pacu gerak hidup manusia untuk selaras dengan panggilan hati nurani yang bertumpu pada kaidah moralitas dan etika untuk tetap senantiasa dikedepankan. Kehendak bebas adalah kemampuan dan keberanian untuk bertindak dari kesadaran diri, Hati Nurani dan nilai-nilai misi hidup sebagai manusia dan amanahnya. Kehendak bebas merupakan focus pendekatan pskilogis pendekatan kekuatan kehendak kita; dimana ada kemauan disitu ada jalan terang yang penuh derita dan ujian dalam menggapai cita- cita (No poin no gain,red), yang tumbuh dan berasal dari pijar-pijar api imajinasi kreatif untuk mampu meneropong keadaan dimana yang akan datang. Empat hal di atas merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia seutuhnya dalam mengemban amanah sebagai pencipta_Nya di muka bumi ini. Binatang dan makhluk lain tidak memiliki empat hal tersebut. Karenanya tidak ada respon, kambing, anjing, atau monyet tidak dapat disebut “Proaktif”. Binatang diciptakan sebagai makhluk yang reaktif. Mereka tidak memiliki kesadaran diri (bahwa mereka ada disini dan kini adalah dalam kekinian), juga tidak punya hati nurani, yakni : “Benar salah, etis dan tidak etis tidak pernah mereka pikirkan serta tidak memiliki kekuatan kehendak bebas untuk mampu berimajinasi secara kreatif dan penuh inovatif.
No comments:
Post a Comment