Bahasa adalah suatu budaya dan merupakan sebuah kekayaan di setip suku di Dunia. Bahasa juga merupakan sebuah kapasitas bagi manusia untuk memperoleh, dan atau digunakan sebagai sarana kommunikasi. Oleh karena perkembangan zaman, beberapa bahasa di berbagai tempat di Dunia ini sedang punah. Di Papua, ada beberapa tempat yang bahasa daerahnya hampir jarang dipakai, akibatnya para generasi penerus tidak tahu berbahasa daerah dan hanya beberapa orang tua yang berumur 70an yang bisa mengeja bahasa daerah secara jelas. Sebagai contoh, bahasa kampong Dunser di Teluk Wondama, yang menurut para peneliti dari jurusan sastra bahasa dan linguistic Universitas Negeri Papua bahawa bahasa Dunser sudah di ambang kepunahan (sumber : http://www.tabloidjubi.com/index.php/daily-news/seputar-tanah-papua/10547 ) . Tidak hanya bahasa Dunser, beberapa bahasa daerah di beberapa suku di daerah Papua hampir senasip dengan bahasa Dunser. Seperti beberapa suku di Merauke, Fak Fak dan Jayapura, generasi penerus Papua kelahiran tahun 1990-an belum bisa berkomunikasi secara baik atau tidak tahu sama sekali. Hal ini sangat disayangkan jika tidak ada kesedaran dari setiap orang tua atau dari semua pihak untuk melestarikan bahasa sebagai suatu kearifan local yang tersimpan di dalam budaya kita.
Pada tulisan saya kali ini, saya mencoba menulis kebiasaan penggunaan bahasa daerah Ngalum oleh para generasi Daerah Ngalum menurut opini saya. Dalam tulisan ini, saya tidak memandang loghat (dialeg) entah dari Oksibil, Kiwirok maupun Abmisibil, yang terpenting bahasa Ngalum. Suatu kekuatiran timbul di dalam diri saya ketika beberapa generasi suku Ngalum jarang menggunakan bahasa Ngalum. Arti bahasa Ngalum yang dalam, kadang tidak dimengerti oleh generasi sekarang. Kebanyakan orang tua yang PNS mengajarkan bahasa Indonesia kepada setiap anaknya mulai dari kecil, tanpa menyadari pentingnya bahasa daerah (Ngalum). Di sekolah-sekolah dilarang menggunakan bahasa daerah walaupun gurunya orang Ngalum. Generasi suku Ngalum yang orang tua mamanya dari luar, atau yang mengklaim orang Ngalum karena mamanya suku Ngalum, belum bisa berbicara maupun mendengar ( communicate) bahasa Ngalum. Apakah ini merupakan suatu pertanda bahasa Ngalum akan punah?
Pelestarian budaya bukan hanya pada tari-tarian daerah, bukan hanya pada pelestarian alat-alat peninggalan kuno, tetapi salah satunya adalah melestarikan bahasa daerah. Oleh sebab itu, sudah menjadi tugas bersama bagi generasi orang Ngalum untuk melindungi dan melestarikan bahasa daerah Ngalum sebagai suatu asset suku Ngalum. Adapun langkah-langkah yang harus diambil menurut opini saya, yang pertama adalah mengajarkan setiap anak bahasa daerah sejak dini, kedua; pengajaran bahasa daerah Ngalum di setip jam muatan local di setiap sekolah, ketiga; di manapun, kapanpun, jika ada dua atau tiga generasi Ngalum, gunakanlah bahasa Ngalum. Untuk mewujudkan ketiga langkah di atas maka jangan pernah ‘gengsi’ mengajarkan bahasa daerah ke anak-anak dan jadikan bahasa Ngalum sebagai asset serta berbicaralah bahasa Ngalum dengan berjiwa besar di antara sesama generasi suku Ngalum. Opini saya cukup di sini, saya berharap para pembaca memberi masukan yang banyak soal pelestarian bahasa Ngalum sehingga saya mengedit ulang tulisan ini.
No comments:
Post a Comment